Rekam-Jejak.com PASANGKAYU – Situasi memanas terjadi di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, setelah Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-K.P.K) Provinsi Sulbar mengeluarkan pernyataan sikap keras terhadap dugaan keterlibatan personel Brimob Polda Sulbar bersenjata lengkap dalam aktivitas pengamanan di kawasan perkebunan sawit milik PT. Pasangkayu, Minggu (5/10/2025) siang.
Menurut laporan lapangan, sekitar pukul 13.55 WITA, tim LP-K.P.K Sulbar yang dipimpin oleh Ketua Komda, Eliasib, menemukan delapan personel Brimob dengan senjata laras panjang berada di lokasi bersama sejumlah security perusahaan saat melakukan pemuatan buah sawit. Diduga, buah sawit tersebut hasil rampasan dari warga yang selama ini menggarap lahan yang diklaim perusahaan sebagai bagian dari area Hak Guna Usaha (HGU).
Berikut daftar nama ke delapan personel Brimob dengan senjata laras panjang:
1. Bripka Syamsumardi, jabatan PS Danton 4 KI 3 Yon B Pelopor, Ka Tim
2. Brigpol Fhathatul Masrura, jabatan BA Ditpamobvit, Wadan Tim
3. Bripda Muh Renaldy Aga Putra, jabatan BA Subsi Opsnal Satbrimob, Anggota
4. Bripda Henro Putra Doda, jabatan BA Provos KI 1 Yon B Pelopor, Anggota
5. Bripda Muhammad Ichsan, jabatan BA KI 2 Yon B Por, Anggota
6. Bripda Achmad Mujaddid, jabatan BA Subdit Waster, Anggota
7. Bripda Saharuddin, jabatan BA Subdit Wisata, Anggota
8. Bripda Setiaven Arip Prianto, jabatan BA Subbag Renmin, Anggota.
Dalam dialog singkat selama 10 menit, personel Brimob memperlihatkan Surat Perintah (Sprin) yang disebut berasal dari Kapolda Sulbar, Kombes Pol Adi Derian Jayamarta, S.I.K., M.H., dengan alasan bahwa keberadaan mereka merupakan bagian dari “pengawasan di area HGU PT. Pasangkayu.”
Namun, LP-K.P.K menilai tindakan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan aparat negara.
“Polisi adalah alat negara yang digaji oleh rakyat, bukan alat keamanan perusahaan. Kehadiran Brimob bersenjata di area perkebunan swasta tanpa dasar hukum yang jelas adalah bentuk keberpihakan pada korporasi dan pelecehan terhadap fungsi kepolisian,” tegas Eliasib, Ketua Komda LP-K.P.K Sulbar.
Dalam investigasi di lokasi, pihak LP-K.P.K meminta bukti resmi dokumen HGU yang menjadi dasar klaim lahan perusahaan. Namun, petugas keamanan perusahaan bernama Arif hanya menunjukkan peta digital di ponsel, tanpa stempel atau tanda tangan resmi dari BPN (Badan Pertanahan Nasional).
“Peta tanpa legalisasi BPN bukan dokumen sah. Kami menuntut keterbukaan dan transparansi, karena HGU adalah dokumen publik sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik,” tegas Eliasib.
LP-K.P.K menilai tindakan PT. Pasangkayu yang mengangkut hasil panen masyarakat dengan dalih “lahan perusahaan” tanpa bukti legal formal berpotensi melanggar hukum pidana, khususnya terkait perampasan hasil panen rakyat.
LP-K.P.K menyoroti bahwa tindakan ini berpotensi melanggar berbagai ketentuan hukum nasional, di antaranya:
1. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13: Polisi bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan korporasi. Pasal 19 ayat (1): Anggota Polri dilarang menyalahgunakan kewenangan. Pengawalan perusahaan tanpa dasar hukum dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
2. Perkap No. 8 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Penggunaan senjata api wajib memenuhi prinsip legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Kehadiran Brimob bersenjata di lokasi tanpa ancaman nyata dinilai tidak proporsional dan menyalahi etika kepolisian.
3. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 2 ayat (1): Informasi publik bersifat terbuka. Pasal 11 ayat (1) huruf (b): Data HGU wajib diumumkan secara berkala.
Penolakan perusahaan menunjukkan indikasi pelanggaran keterbukaan publik.
4. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Melarang penguasaan lahan negara tanpa izin sah. Jika PT. Pasangkayu tidak memiliki HGU resmi,
Melihat dugaan penyimpangan tersebut, LP-K.P.K Sulbar mendesak Kapolri, Propam Polri, dan Kompolnas untuk segera melakukan:
* Investigasi terhadap Sprin Brimob Polda Sulbar yang digunakan dalam kegiatan di PT. Pasangkayu;
* Pemeriksaan terhadap pimpinan Brimob yang menurunkan personel bersenjata tanpa dasar hukum yang jelas;
* Audit transparansi HGU PT. Pasangkayu melalui BPN untuk memastikan legalitas klaim lahan; dan
* Perlindungan hukum terhadap warga yang lahannya terdampak klaim perusahaan.
“Kami tidak anti-investasi, tapi kami anti kesewenang-wenangan. Jangan jadikan aparat negara sebagai tameng korporasi. Negara harus hadir untuk rakyat, bukan untuk modal,” tutup Eliasib dengan nada tegas.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan keterlibatan aparat bersenjata dalam konflik agraria antara warga dan korporasi sawit di wilayah Sulawesi Barat. Publik kini menanti langkah tegas Kapolri dan Kompolnas untuk memastikan netralitas aparat serta supremasi hukum di atas segala kepentingan bisnis.
Sumber : Tim.